Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Pinggir, Familikrasi

Goenawan Mohamad (82) menjelaskan rencananya pensiun menulis Catatan Pinggir di Perpustakaan Nasional, Minggu (5/3/2023) (Foto: RRI/Hari Wiryawan)

Catatan Pinggir, Familikrasi

DEMOKRASI dimulai sebagai skandal. Demokrasi dimulai ketika seseorang atau satu golongan yang dianggap tak patut mendadak atau berangsur-angsur muncul, bersuara, dan berkuasa dalam sebuah tatanan sosial yang semula digambarkan sebagai bangunan dengan martabat yang mantap.

Pada mulanya adalah ketentuan "patut" dan "tak patut". Entah sejak zaman kapan syarat-syarat tertentu dilembagakan agar seseorang dianggap layak memegang kekuasaan. Mungkin sejak Plato di Yunani ditarikh sebelum Masehi: la menyusun axiomata atau kualifikasi buat memerintah semacam bobot, bibit, bebét dalam tradisi Jawa ketika menilai seseorang untuk diterima atau tidak.

Syarat-syarat Plato tak aneh buat seorang pemikir politik yang anti demokrasi: untuk memimpin, kata Plato, seseorang harus punya bibit yang benar lahir di waktu ter tentu dan di kalangan tertentu. Dan, tentu saja, harus ada bobot dan bebet punya wibawa dan kekuatan dalam hubungannya dengan orang lain.

Syarat lain yang mahapenting, bagi Plato: kekuasaan harus merupakan kekuasaan seseorang yang tahu" di atas orang yang "tak tahu". Dalam gambarannya tentang Negeri Kallipolis, kota yang sempurna, sang raja adalah sekaligus filosof.

Tapi ada kualifikasi lain yang diakui Plato pemimpin bisa lahir dari "pilihan Tuhan yang tak bisa diduga. Sama dengan hasil lotere.

Jika kita ikuti Rancière (dan saya mengikutinya), itulah justru ciri demokrasi. Di sana, tulisnya dalam Onze thèses sur la politique, tak satu pun pihak yang punya titel, status istimewa yang apriori berhak menentukan pilihan.

Dalam demokrasi, hasil pilihan itu sepenuhnya ibarat undian, le tirageausort. Di dasar tiap undian ada kesetaraan. Si Badu yang bukan ningrat, bukan anak pejabat, bukan pakar, bukan apa-apa bisa saja muncul seperti dapat lotere dan memimpin. Dan itulah "skandal", yang dalam cerita wayang digambarkan dalam lakon Petruk Jadi Ratu.

Tapi sementara dalam dunia wayang Petruksi jelata abdi dan badut dijadikan bahan cemooh, dalam pandangan Rancière Petruk menandai guncangnya bangunan politik yang semula digambarkan sebagai arena istimewa. 

Petruk adalah kekurangajaran yang menandai bahwa tak ada situs yang istimewa, juga kekuasaan.

Di Indonesia hari ini, tatkala demokrasi sudah jadi oligarki dewan perwakilan diisi orang-orang yang diarahkan para juragan politik yang menguasai partai sebagai kandang ternak milik pribadi kita perlu Petruk. Kita perlu skandal, terutama ketika tampak kecenderungan yang pelan-pelan berkembang dari oligarki: saya menyebutnya "familikrasi".

Familikasi adalah penguasaan ruang politik oleh elite yang terbentuk dari hubungan keluarga kita segera tahu ita. Familikrasi dibangun dalam pemilihan kepala daerah calon yang dimajukan untuk diplih adalah istri, anak, atau menantu elite sebelumnya. 

Tentu saja ini legal, tapi yang "legal" tak identik dengan yang arif yang mengakui batas diri sendiri karena sadar dalam hidup kita ada sesama.

Familikrasi, sebagaimana oligarki, mengandung cacat dasar, bahkan lebih gerowong. Sementara pangkal oligarki adalah kekayaan yang tak jarang diperoleh dengan jerih payah pangkal familikrasi adalah satu hal yang didapat tanpa upaya hubungan biologis. 

Oligarki masih mungkin dihasilkan satu lapisan yang tangguh; familikrasi tidak. Elite yang baru bisa disamakan dengan benalu: organisme yang hidup hanya karena melekat ke tubuh organisme lain. Cepat atau lambat la membentuk regenerasi yang lembek dan tertutup. 
Tak ada elemen baru dari luar lingkarannya. 

Familikrasi adalah sebuah narsisme politik: diriku paling bagus dan perlu diteruskan dan digandakan. 

Tak perlu ada rasa was-was, bahwa yang "baru dan itu yang beda akan mematahkan, atau menyimpangkan, yang di anggap "sudah bagus", nyaman, dan bisa dikendalikan. Familikrasi berangkat dari kehendak akan kesinambungan tak menyadari bahwa yang selamanya terjadi dalam sejarah politik adalah pseudo (semu) berkesinambungan.

Dinasti tak pernah bisa mereproduksi dirinya. Tiap reproduksi, tiap pengulangan, mengandung perbedaan. Sultan Agung dari Mataram dilanjutkan putranya, Amangkurat, tapi sang penerus bukan penerus. Ia merusak warisannya. Mataram tak pernah bangkit lagi dengan kejayaan baru.

Jika kriteria utama untuk seleksi kepemimpinan adalah "trah", dilupakan bahwa trah tak mudah berubah untuk "survival of the fittest".

Sejarah bukanlah cerita wayang. Sejarah tak diisi cuma lima pandawa dan 100 kurawa, dengan cakil, denawa, dan
punakawan yang "lu lagi lu lagi", tak berubah bahkan dalam cara berkelahi dan dalam kalah dan menang. Berbeda dengan wayang, sejarah dibangun dengan skandal: tempat kekuasaan dianggap kosong, belum dibooked, bisa diisi siapa saja, juga oleh para petruk.

Atau lebih tepat, sejarah menunjukkan kekuasaan tak pernah bertempat, senantiasa contingent, serba mungkin, dan selalu terbentuk oleh beda dan konflik dalam dirinya yang berubah. Familikrasi lahir dari nafsu yang buta menghadapi itu.

By Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir TEMPO
@2020


Post a Comment for "Catatan Pinggir, Familikrasi"