Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERANI MENGALAH, MENJADIKAN KITA INSAN MULIA

Oleh :
T.M. Jamil, Assoc. Profesor, Dr, M.Si
Pengamat Politik & Akademisi - USK, Banda Aceh.


ADA SATU KATA yang nyaris tak pernah terlewatkan oleh dosen pembimbing saya saat kuliah dulu, setiap kali saya diskusi dengan beliau. Kata itu adalah ‘game’, ya permainan. ” you know the game, right?“, ” that’s the game.“. Walaupun, saya tidak pernah benar-benar mengerti apa filosofi dibalik kata ‘permainan itu’, yang jelas saya tidak sedang meniliti game theory, atau pun pengembangan software game. Saya juga tak pernah benar-benar paham, setiap kali membaca salah satu ayat dalam kitab suci Alqur’an, yang artinya : Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. 

Satu yang saya tahu, bahwa dalam setiap permainan pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Dan setiap orang pasti berharap untuk menjadi pemenangnya. Karena dalam setiap permainan seseorang ingin menjadi pemenang, permainan ini menjadi tak ubahnya sebuah persaingan untuk menjadi pemenang. Kadangkala orang ingin menang, tanpa memperdulikan aturan yang telah disepakati. Semua aturan dilanggar dan bahkan etikapun tak dihiraukan. Baginya yang penting adalah meraih kemenangan, meski itu hanya kemenangan semu dan palsu. Ya, Itulah kehidupan.

Saya yakin, selain ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan yang lain, manusia juga ditakdirkan memendam rasa persaingan dengan manusia lainya. Bukankah, menurut ilmu biologi yang kita pelajari saat SMA dulu, kita berasal dari sel sperma yang berhasil memenangkan persaingan di antara jutaan sel sperma lainya untuk membuahi sel telur? Menurut saya itu, sangat manusiawai, jika kita mau jujur, ketika melihat orang lain lebih bahagia, lebih sukses, lebih menang, dalam hati kita sering muncul rasa tidak bahagia, rasa iri, dan rasa tidak senang. Sebaliknya, ketika kita melihat orang lain lebih susah, lebih gagal, lebih kalah, dalam hati kita kadang malah muncul rasa senang. Namun sering kali, manusia sangat pandai berpura-pura, bersikap munafik dan egois.

Mungkin karena sifat dasar ingin bersaing memenangkan ‘permainan kehidupan’ itulah, sejarah mencatat adanya Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin. Dan tentunya perang-perang tanpa senjata yang terus terjadi hingga detik ini. Hanya saja bentuk dan rupanya yang berbeda mengikuti dinamika dan zamanya.

Di antara permainan yang paling dekat dengan kita adalah, permainan gaya hidup. Semua berlomba-lomba menjadi yang paling bergaya hidupnya. Masih ingat bagaimana sesama teman-teman sekolah dulu, kami bersaing memperebutkan kursi yang terbatas di jurusan-jurusan favorit di PTN. Begitupun, setamat kuliah, sesama teman-teman kuliah, bersaing memperoleh pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan bergengsi. Persaingan pun berlanjut di tempat bekerja, dengan ukuran kesuksesan karir yang diukur dengan seberapa tingginya jabatan, kedudukan, gaji, dan seberapa wah atribut-atribut gaya hidupnya atau fasilitas yang digunakan. Bahkan kadangkala baru saja mendapatkan kepercayaan – mobil dinaspun harus berganti yang baru dan bermerek. Lihat mobilnya, lihat titel di depan dan belakang namanya, lihat rumahnya, lihat segala yang menempel ditubuhnya, lihat tempat nongkrongnya. Dan yang paling wah ... wah dan woww .. lah yang dianggap sebagai pemenangnya. Ada yang ‘fair’ dan jujur dalam permainan itu, tetapi lebih banyak lagi yang tidak ‘fair’ dan tidak jujur alias semua kemenangan itu dengan kecurangan. Menjadi pengkhianat dan pecundang. Teman sendiripun dikhianati dan dizhaliminya.

Kata Ibu saya, di antara kelima anaknya, sayalah yang paling tidak mau kalah dalam persaingan dan beliau menyebut saya, anak yang keras kepala. Sayalah yang paling berambisi untuk menang dalam setiap permainan kehidupan di banding yang lain bahkan di antara teman-teman sepermainan. Memang, satu sisi saya merasa bisa ‘maju’ karena semangat memenangkan setiap permainan kehidupan.

Tetapi, belakangan, seiring bertambahnya umur, ketika melihat permainan kehidupan yang pemenangnya sering kali diukur dengan ukuran yang sering kali bertentangan dengan hati nurani saya, saya justru malah senang untuk bisa mengalah, meski saya dizhalimi dan difitnah. Bagi saya siapapun yang menzhalimi saya, biarlah Allah Swt yang jadi hakimnya. Masih ingat dulu, waktu lulus magister, saya lebih memilih tetap menjadi dosen honorer dan bergaji hanya 1-jutaan, ketika saya lulus seleksi sebagai konsultan pada perusahaan besar di Pulau Jawa. Begitu juga ketika saya ditawarkan untuk menjadi sebagai salah seorang Kepada Dinas atau SKPA – saya tetap memilih Kampus sebagai tempat pengabdi, meski acapkali saya terzhalimi dengan seringkali berbeda pendapat dengan mereka yang sedang berkuasa. Walaupun, kadang kala menjadi orang yang kalah itu sering kali menyakitkan dan disakiti, mengalah lebih sering menenangkan dan menentramkan jiwa. Begitu juga ketika saya dimarahi dosen pembimbing, saya selalu diam dan mengalah. Namun hasilnya, ternyata luar biasa. Beliau menghormati saya sampai hari ini. Subhanallah … !!!

Dalam setiap hubungan dengan manusia, atau dengan saudara kandung, bahkan dengan pasangan hidup sendiri, mengalah sering kali malah lebih menyelamatkan kita menuju kedamaian hati. Tidak tampak yang terhebat, terpandai, terhormat, dan ter, ter, ter yang lainnya di antara sesama kadang justru malah menenangkan dan menentramkan hati. Karena, kalau sudah menjadi yang ter, dan ter, turunanya adalah kegelisahan dan ketakutan menurunya label yang ter-ter tadi. Mengejar kesempurnaan, membuat kita lupa, bahwa kesempurnaan hanya milik Tuhan dan Milik Allah Swt semata. Sepasang suami istri pun, jika keduanya memaksakan memenangkan ego-nya, sudah bisa dipastikan hasilnya berantakan dan bahkan perceraian. Pun demikian, ketika kita selalu ingin terlihat sempurna, memaksakan memenangkan setiap permainan kehidupan, bisa jadi kehidupan kita malah menjadi berantakan dan tak pernah berakhir dengan indah.

Berani mengalah dalam permainan kehidupan, bukan berarti kita kalah. Tetapi, Wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya (Begitulah kata Mbah Jowo). Tidak menjadi pemenang dalam permainan kehidupan, bukan berarti menjadi pecundang. Tetapi mendefinisikan pemenang secara berbeda dari definisi pemenang orang-orang kebanyakan. Semoga kita bisa bersabar untuk mengalah di awal dan di tengah alur cerita kehidupan kita, dan menjadi mulia di akhir cerita. Banyak sekali teman saya waktu kuliah dulu gagal karena sering memaksa kehendak dengan dosennya. Dan dia selalu menganggap dirinya mahasiswa hebat. Namun yang mereka terima bukan pujian, akan tetapi kegagalan dan kehancuran. Na’uzubillahi Min Zhalik.


Bumi Sultan Iskandar Muda, 19 Ramadhan 1445-H

Post a Comment for "BERANI MENGALAH, MENJADIKAN KITA INSAN MULIA"