Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penulis Itu Telah Mati

Jacob Ereste :

(Bagian Kelima)


Ibarat obat yang terlambat datang, sungguh tidak berbeda dengan bala bantuan datang setelah perang usai menuju kedamaian. Begitulah seonggok sesal Markenun, seorang sohib almarhum yang terbilang sangat  dekat, seperti jalinan persahabatan mereka bersama Karto Glinding yang telah memasuki babak  persaudaraan sejati.

Penulis dan Markenun serta Karto Glinding bisa disebut dalam istilah setali tiga uang. Jalinan persahabatan mereka yang telah pada tingkat persaudaraan ini, telah memiliki bahasa batin yang tidak lagi perlu dinarasikan, masing-masing sudah mampu mengetahui apa saja yang hendak dikatakan sebelum yang bersangkutan mengungkapkannya.

Agaknya, inilah yang dimaksud bagian dari bahasa batin itu, bahasa batin yang hanya dimiliki oleh mereka yang sudah mencapai makhom tertentu pada jenjang laku spiritual yang matang. Mungkin saja diantara mereka yang lain acap menyebut bahasa batin itu semacam mata hati. 

Boleh jadi atas dasar itulah Markenun jadi merasa sangat menyesal telah menunda-nunda pemberian obat yang dia sudah dia bawa khusus dari perjalanannya keliling daerah itu. Mulai dari pelosok Lampung, Way Kambas, hingga akar pohon langka  yang temukan di Ujung Genteng telah dia siapkan  untuk dikonsumsi oleh almarhum agar dapat menangkal berbagai penyakit yang juga dia percaya menggerogot daya tahan fisiknya  sang penulis yang telah mati itu 

Tapi realitasnya cerita yang terjadi memang lain, semua berada jauh berada di luar skenario yang sempat melintas dalam pikirannya, bahwa penulis sebetulnya dapat segera pulih  seperti kondisinya semula. Semua itu, selama almarhum sakit, memang tidak pernah berkeluh kesah kepada siapapun. Sebab penulis kita ini memang memiliki semacam keyakinan bahwa keluh kesah itu tidak pernah akan dapat menyelesaikan suatu masalah. Termasuk rasa sakit yang mendera dan menggrerogoti dirinya. Tapi kedua sohibnya -- Markenun dan Karto Glinding -- cukup mengerti dan paham, mengapa pilihan membungkam itu terus dia lakukan. Meski sekedar untuk mengatakan sakit ikibat penyakit yang menggasak dirinya sejak lama itu. Namun atas dasar keyakinan itu pula dirinya sangat mungkin telah memiliki daya hidup yang justru tidak dimiliki oleh banyak orang. Utamanya bagi mereka yang telah berusia senja.

Kesadaran dan kemampuan spiritual Markenun memang dia sadari sedang diuji, bagaimana mungkin saat kematian sobat karibnya, seperti tidak sedikitpun mendapat firasat. Sehingga beragam ramuan obat-obatan yang telah bawa dari berbagai daerah itu menjadi sia-sia, seakan justru sedang memberikan isyarat lain yang harus dia pamahi melalui kamus besar kitab jagat raya. Tapi yang pasti, Markenun menyadari bahwa obat atau semacam terapi yang terlambat diberikan itu memang  tiada ada gunanya. Bahkan dapat menjadi rasa  sesal yang terus berkepanjangan dan mengganjal hati dan batinnya.

"Ya, ibarat bala bantuan datang, ketika perang telah usai", kata Markenun mengudar rasa kegundahan hatinya kepada Karto Glending yang sangat memahami kesedihan hati sohibnya. Toh, keduanya hanya bisa mengenang masa indah mereka bersama sang penulis yang telah mati itu pada hari-hari yang terus meninggalkan mereka.


Pasar Kemis, 25 Februari 2024

Post a Comment for "Penulis Itu Telah Mati"