Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemimpin Masa Lalu, Demi Satu Nyawa, Berani Menukar Dengan Nyawanya Sendiri

Oleh :
T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor, pada Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


UMAT MUSLIM baru saja merayakan Idulfitri 1445-H dan Insya Allah akan menyambut Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Inti dari perayaan hari raya Kurban ini adalah agar manusia meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim AS. Perbuatan Nabi Ibrahim AS merupakan puncak dari sebuah pengorbanan karena apa yang dipersembahkan adalah miliknya yang paling berharga yakni belahan jiwa yang selama puluh-puluh tahun dinanti kelahirannya Nabi Ismail AS. Pengorbanan beliau yang lain adalah menantang maut saat dibakar oleh raja Namrud.

Raja zalim itu terusik oleh perjuangan kerakyatan dan penegakan moral yang mengancam dominasi kekuasaan raja atas pusat ibadah umat beragama. Nabi Ibrahim AS telah menancapkan tonggak pengorbanan teramat tertinggi bagi anak cucunya. Dia seperti ingin mengatakan kepada dunia, capailah pengorbananmu setinggi-tingginya demi rakyat dan bangsa yang engkau pimpin. Kisahnya memberikan inspirasi sehingga banyak pemimpin dunia yang menunjukkan pengorbanan luar biasa. Bukan seperti pemimpin kita saat ini, mengorbankan jutaan orang lain untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya. Astargfirullahal Adhiem.

Proklamator Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno mengalami kesulitan dan perlakuan tidak manusiawi dari penjajah Belanda karena sikapnya yang membela Tanah Air dan rakyat Indonesia. Dikucilkan, diisolasi, dipenjara, dan yang paling menyedihkan lagi beliau diancam untuk dibunuh oleh penjajah. Soekarno pernah merasakan dinginnya tembok penjara Sukamiskin, Bandung, pada tahun 1929 setelah dijebloskan oleh Bangsa Belanda yang mengganggapnya sebagai orang yang sangat berbahaya, karena mendirikan Partai Nasional lndonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 

Tidak lama menikmati kebebasan, Soekarno kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores pada tahun 1933. Soekarno Empat tahun kemudian dipindahkan lagi ke Bengkulu. Pengorbanan Soekarno juga diberikan kepada anak bangsa. Suatu saat seorang bocah ditawan tentara sekutu di Magelang. Dengan lantang Bung Karno memerintahkan para tentara sekutu untuk menghentikan perbuatannya. Dia maju tanpa ragu membebaskan anak itu. Demi satu nyawa, beliau berani menukarkan nyawanya. Nah, bagaimana pula sikap dan cara pemimpin kita saat ini? 

Soekarno juga sampai harus menjual mobilnya untuk membangun patung Pancoran sebagai ikon penghormatan untuk para pahlawan. Dibutuhkan dana tidak sedikit sehingga beliau melelang mobil pribadinya demi tegaknya monumen tersebut. Semua harta benda miliknya di rumah di bawa ke kantor untuk kesejahteraan rakyatnya. Itulah gaya pemimpin masa lalu. Namun yang terjadi di zaman sekarang, banyak di antara oknum pemimpin malah barang milik kantor dan negara dibawa pulang ke rumah dijadikan sebagai milik pribadinya. Masya Allah. 

Selain Soekarno ada Agus Salim, yang hidup sederhana (1884-1954). Kehidupannya jauh dari nyaman : terbatas secara materi, tidak cukup uang belanja, dan tinggal di rumah kontrakan, padahal dia adalah diplomat senior, anggota Dewan Rakyat Volksraad, Menteri Muda Luar Negeri RI, Menteri Luar Negeri pada Kabinet Sjahrir, dan pengurus Syarikat Islam, partai besar ketika itu.

Dia berjasa dalam menggalang dukungan negara-negara Arab untuk kemerdekaan Indonesia. Soekarno, Agus Salim dan pejuang lain adalah contoh pemimpin yang berani menderita. Leiden is lijden, “memimpin adalah menderita” begitulah pepatah kuno Belanda mengatakan. Tidak akan pernah ada pemimpin dan pencapaian hebat lahir dari zona yang nyaman. 

Keberanian untuk menderita sudah sangat langka ditemukan dalam diri para pemimpin saat ini. Yang menguat justru pemimpin yang mengedepankan kepentingan diri dan juga kelompok serta konco-konconya. Seperti tidak pernah selesai dengan diri dan kelompoknya, para pemimpin ini terus saja menumpuk pundi-pundi uang melalui korupsi dan kejahatan jabatan yang dimilikinya. Na’uzubillahi Min Zhalik. 

Perasaan kebangsaan dan kebanggaan sebagai orang Indonesia terusik oleh berita dan survei yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup, sementara negara-negara yang berdekatan mempunyai prestasi yang lebih baik. Padahal secara kasat mata kita lebih hebat untuk menjadi lebih maju, namun yang terjadi justru kita semakin terpuruk. Tidak ada perbaikan yang signifikan dari bangsa ini. Pilar-pilar pembangunan tak lagi kokoh karena terus digerus oleh koruptor yang digambarkan sebagai tikus yang menggerogoti pokok-pokok kayu. Indonesia tak mampu tumbuh secara eksponensial menuju negara berpenghasilan tinggi (high income country). Belum lagi proses pemilihan pemimpin yang sarat dengan kecurangan dan manipulatif untuk meraih kemenangannya.

Korupsi telah membuat cita-cita para pendiri negara seperti bung Karno dan Agus Salim untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi terkendala. Korupsi menciptakan biaya tinggi sehingga mesin ekonomi tidak bisa bekerja secara optimal. Perlu terobosan agar Indonesia tidak terus terpuruk dalam kubangan korupsi. Dibutuhkan pemimpin yang berani menderita, mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kemajuan bangsa, visioner membawa negara ke masa depan, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, menanamkan kepercayaan, bijaksana, dan berorientasi hasil. 

Seorang pemimpin juga harus menempati janjinya kepada rakyat sebagaimana Nabi Ibrahim AS memenuhi janjinya untuk mengorbankan anaknya Ismail AS seperti yang pernah beliau ucapkan sebelumnya untuk kita. Untuk itu, Hari Raya Idul Adha 1445-H yang akan datang dapat menjadi momentum bagi para pemimpin bangsa untuk bertanya kepada dirinya, apa yang telah aku berikan kepada negara, bukan berharap apa yang diberikan negara kepadanya. Semoga Postingan ini Bermanfaat bagi insan yang masih berakal sehat, waras dan memiliki hati nuraninya untuk bisa memilih dan memilah mana yang haq dan mana yang batil. Insya Allah, Aamiin...


Bumi Sultan Iskandar Muda, 24 April 2024.

Post a Comment for "Pemimpin Masa Lalu, Demi Satu Nyawa, Berani Menukar Dengan Nyawanya Sendiri"