Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aceh Timur Cuma Jadi Penonton di Panggung Gas Nasional?

Opini
Oleh: Masri, SP (Penggiat Sosial)
Part 1

Di tengah gegap gempita eksploitasi sumber daya alam, Aceh Timur ternyata hanya jadi penonton di lapangan sendiri. Sejak 2018, PT Medco E&P Malaka menggali, mengekstrak, dan menjual gas alam dari perut bumi Aceh Timur. Namun hingga tahun ke-7 beroperasi, janji manis tentang Partisipating Interest (PI) 10% belum juga mengalir ke kas daerah.

Apa itu PI? Bagi yang belum tahu, PI adalah hak daerah untuk ikut menyertakan modal—10 persen dari total investasi migas—sebagai bentuk keterlibatan sah atas kekayaan alamnya sendiri. Ini bukan hadiah. Bukan pula belas kasihan. Ini kewajiban hukum. Diatur secara jelas dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2025, dan sebelumnya lewat Permen Nomor 37 Tahun 2016. Tapi apa lacur? PT Medco seperti punya kamus sendiri yang entah menghapus kata "komitmen."

Mari kembali ke 2008. Kala itu, Bupati Muslim Hasballah menyetujui eksplorasi gas di Aceh Timur, tapi dengan prasyarat: bangun rumah sakit daerah (yang kini bernama RS Zubir Mahmud) dan realisasikan PI. Dealnya jelas. Tapi setelah gas disedot dan cuan mengalir deras, PI seolah dilupakan. Bahkan PT ATEM—BUMD yang dibentuk sebagai kendaraan hukum PI—hari ini seperti kapal tanpa nakhoda. Dana Rp 800 juta untuk kantor dan mobiler pun raib tanpa jejak geliat.

Lucu, ya? Sumber daya besar. Produksi harian tembus 63 juta standar kaki kubik. Cadangan gas mencapai 20 triliun kaki kubik. Tapi pendapatan daerah? Hanya berkisar Rp 7 miliar per tahun dari Dana Bagi Hasil (DBH). Bahkan Kabupaten Aceh Tamiang, yang bukan penghasil utama, bisa mengantongi DBH lebih besar. Ada yang janggal, bukan?

Bandingkan dengan Blok B di Aceh Utara. Produksi gasnya lebih kecil, hanya 43 juta kaki kubik per hari. Tapi karena PI berjalan, Pemkab Aceh Utara mampu meraup sekitar Rp 19 miliar pada 2024 lewat penyertaan saham di PT Pema Global Energi. Artinya apa? Bukan soal besar atau kecilnya cadangan, tapi soal keberanian daerah memperjuangkan haknya.

Aceh Timur bukan daerah miskin potensi. Tapi jadi miskin karena diam. Pemerintah kabupaten seperti kehilangan arah atau mungkin sengaja menutup mata. Sementara Medco terus menari di atas tanah yang tak pernah ia tanami keadilan.

Pertanyaannya sederhana: sampai kapan Aceh Timur hanya jadi penonton dalam cerita sukses Medco? Sampai kontrak habis di 2031? Atau sampai gas habis dan yang tersisa hanya lubang-lubang raksasa dan janji kosong?

Kita tidak butuh belas kasihan. Kita hanya minta hak yang sah. PI bukan sekadar angka, tapi simbol kedaulatan daerah atas kekayaan sendiri. Jika itu terus diabaikan, maka jelas: Aceh Timur bukan hanya dirugikan. Aceh Timur sedang dijual murah dalam pasar politik dan bisnis yang tak peduli pada keadilan.


1 comment for "Aceh Timur Cuma Jadi Penonton di Panggung Gas Nasional?"

Anonymous 17 April 2025 at 08:48 Delete Comment
Akibat kebodohan pemimpin yg lama, Rakyat lah yg merasakannya, utk memperbaiki kebodohan tsb Pemimpin yg baru Harus Siap merubah semua Kebijakan yg terbaik utk Aceh timur, sesuai dgn UU yg berlaku